Dengarkan detak jantung orangtua wali murid dan siswa kelas XII SMA/MA/SMK hari ini. Kemungkinan besar detak jantungnya akan berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Detak jantung mereka akan lebih cepat. Bahkan semakin cepat saat matahari terbit besok. Karena besok adalah hari penentuan bagi mereka. Hasil UNAS yang ditunggu-tunggu akan segera diumumkan.
Hasil unas nanti akan menjadi vonis hakim bagi orangtua wali murid dan siswa. Lulus berarti bebas. Tidak lulus berarti vonis seumur hidup. Tentang nilai unas tidak dianggap. Karena bagi kebanyakan orangtua wali murid dan siswa, nilai unas adalah nomor dua atau kesekian kalinya. Yang penting lulus.
Mengulang tahun depan atau ikut kejar paket C yang menjadi pilihan jika tidak lulus unas dianggap sebagai penutup aib sementara. Tangisan sedih karena gagal dalam unas akan tumpah dari siswa dan orangtua wali murid yang gagal. Lalu bagaimana dengan siswa dan orangtua wali murid yang lulus? Kegembiraan dan keceriaan jelas akan terpencar pada diri mereka. Tangisan gembira, syukuran hingga pengajian akan dilakukan demi merayakan kelulusan.
Sayangnya dalam meluapkan kegembiraan ternyata siswa tidak hanya cukup dengan cara-cara positif diatas. Pelajar merasa masih kurang puas jika tidak konfoi di jalan. Lulusan tanpa konfoi dianggap sebagai makan tanpa garam. Aksi konfoi di jalan dengan berboncengan tiga atau tanpa helm dianggap sebagai simbol kebebasan. “Lulus!”, teriak peserta konfoi dengan klakson terpencet keras-keras.
Aksi turun ke jalan seperti tradisi dalam merayakan kelulusan. Padahal jika kita mau melihat ke depan maka perayaan kelulusan seperti itu sangat-sangat tidak layak untuk dilakukan.
Bagaimana bisa ratusan siswa yang lulus unas berkonfoi di depan teman-temannya yang sedang menangis karena gagal unas? Apakah kelulusan membutakan hati nurani mereka?
Selain itu, kata-kata lulus yang diperoleh akan membuat mereka lupa bagaimana caranya mereka mendapatkannya. Apakah dengan perjuangan sendiri, ataukah dengan bantuan teman dan orang lain.
Tidak itu saja, berkonfoi dengan ugal-ugalan di jalan jelas akan mengganggu masyarakat sekitar dan pengendara jalan yang lain. Karena jalanan menjadi macet. Selain itu keselamatan mereka juga terancam.
Sebenarnya jika siswa yang lulus unas tersebut mau berfikir ke depan, maka aksi-aksi negatif tersebut tidak akan dilakukan. Karena setelah menerima kata ‘lulus’, mereka bukan lagi anak-anak yang bisa bersembunyi dibalik ketiak orangtuanya.
Mereka akan menjadi diri mereka sendiri. Namanya tidak akan lagi diinisialkan dan gambarnya dikaburkan di media massa, jika mereka melakukan tindak pidana. Karena setelah lulus SMA umur mereka diatas 17 tahun.
Di samping itu, setelah lulus SMA maka mereka harus menentukan jalan hidupnya masing-masing. Kuliah atau bekerja harus diputuskan. Karena itulah yang akan menentukan masa depan mereka sendiri.
Apakah modal lulus dari SMA sudah cukup? Jika memang hasil lulus yang diperoleh dari unas merupakan keringat mereka sendiri, maka jawaban siap akan muncul. Namun jika lulus yang diperoleh hanyalah semu karena dalam mendapatkannya dengan menghalalkan segala cara, bisa jadi mereka tidak siap menghadapi dunia.
Jika melihat hal diatas maka ujian sebenarnya bukanlah unas yang dilaksanakan tiga hari dalam kelas. Namun, ujian yang sebenarnya baru akan dihadapi setelah selembar kertas pengumuman yang menyatakan lulus diterima.
Dalam ujian tersebut tidak lagi menggunakan standar nasional. Tetapi sudah menggunakan standar kemampuan. Karena yang menguji tidak lagi pihak sekolah, tetapi pihak-pihak yang benar-benar berkompeten dan masyarakat. Jika siswa tersebut mampu maka dia akan diterima dan mendapatkan acungan jempol dan sebaliknya. Disinilah kedewasaan siswa yang lulus unas diuji. Apakah siswa Kota Kediri sudah dewasa dan meninggalkan tradisi kuno atau sebaliknya. Kedewasaan akan ditentukan mereka sendiri.
Jika mereka persuasif, pelajar yang lulus unas bisa menjadi dewasa maka hal itu merupakan langkah maju bagi pendidikan di kota Kediri. Namun jika secara persuasif, mereka masih belum bisa diajak dewasa maka tugas dari pihak-pihak terkait untuk menjadikan mereka dewasa.
Keamanan pengendara di jalan harus diutamakan. Konfoi yang ugal-ugalan seperti berboncengan tiga, tidak memakai helm dan membahayakan keselamatan perlu diberi ketegasan oleh pihak kepolisian.
Sehingga mereka akan menjadi jera. Karena jika tidak bisa dewasa dengan cara persuasif maka pendewasaan dengan cara dipaksa bisa menjadi salah satu alternatif.
Penulis : Rully Prasetyo, wartawan Radar Kediri
(Radar Kediri, 14 Juni 2009)
Sumber Gambar: krisnahome.blogspot.com
Konvoi Lulus: Saatnya Menjadi Dewasa
Kamis, 18 Juni 2009:11.28 | Category: Lulus, Opini, Pendidikan Dewasa, Review
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar